Belahan Jiwa
: CH. Evaliana
Dear Evaliana, sang dewi hujan.
Biar kutebak, pasti kau sedang berjibaku
dengan segala urusan tetek-bengek pernikahan. Tentu saja bukan pernikahanmu, pernikahan
klienmu. Oh biar kutebak lagi, keningmu pasti sedang berkerut membaca paragrap awal
ini.
Tenang saja Eva, aku bukan salah satu orang
yang akan menghujanimu pertanyaan, “Kapan nyusul?” Aku juga tak akan bilang, “Semua
akan indah pada waktunya.” Dua perkataan itu tentu sudah jutaan kali menghujam
telingamu.
Terkadang, aku menangkap raut wajahmu yang
sendu melihat dua orang berada di altar menautkan janji setia. Ingin kutepuk
lembut bahumu lalu menyodorkan segelas kopi Cappuccino kesukaanmu.
Eva, pernikahan bukan hal yang main-main, kau
cukup mengerti hal tersebut. Pernikahan bukan masalah cinta dan harta, kau juga
mahfum itu. Pernikahan terjalin antara dua orang yang telah sadar betul
konsekuensi hidup.
Aku turut bahagia ketika kau menemukan lelaki
yang memenuhi hampir seluruh kriteriamu. Hanya satu, satu hal kalian berlainan
paham. Satu hal yang begitu esensi dalam hidup. Satu hal yang bisa membawa
serta ribuan hal. Kau sedang mencoba menerka-nerka ke mana hubungan itu akan
berujung.
Hati manusia memang kompleks, Va. Kita hanya
berusaha mencerna dengan hati dan akal. Mungkin, sering kali kau
bertanya-tanya, kenapa harus terjadi lagi? Padahal kau cukup berhati-hati dalam
melangkah, padahal kau sudah coba menahan. Rasa dan logika sedang bertarung
dalam jiwamu.
Eva, apakah hidup mulai terasa berat ketika
kau mengarunginya sendirian? Apakah kau butuh dada untuk bersandar? Apakah kau
ingin ada yang mengusap air matamu?
Pernikahan tak perlu kau paksakan karena
dorongan usia atau tekanan mereka yang suka bicara. Pernikahan akan tercipta
ketika kau menemukan belahan jiwa.
Berjuanglah Va! Cinta tak datang dengan
sendiri. Cinta sedang menunggu untuk kau raih. Entah di belahan dunia mana,
pasangan jiwamu sedang mencarimu. Kau tak berjuang sendiri. Lelaki itu
merindukan sosokmu bahkan sebelum kalian bertemu. Lelaki itu sedang
mengkhayalkan rumah mungil dan halaman luas tempat kalian menghabiskan sisa
usia. Lelaki itu sedang membayangkan menggendong anak-anak kalian yang tertidur
karena kelelahan. Lelaki yang hanya akan tertawa ketika kau mulai misuh-misuh
tentang hal sepele.
Lelaki itu sedang menanti dan mencarimu.
Lelaki yang tercipta hanya untukmu, Eva. Jangan lelah, jangan menyerah.
Peluk cium
Yang namanya belahan jiwa nanti juga dateng sendiri :)
ReplyDeleteBuat saya belahan jiwa itu enggak datang sendiri :)
DeleteKetika malam menjelang, lelah, letih dan segala pikiran berkecamuk di dalam kepala ... aku mulai membaca suratmu.
ReplyDeleteHahahahaaa, suratmu kali ini menyentuh relung yang selama ini terabaikan atau mungkin memang diabaikan.
Pernikahan bukan segalanya bagiku, well untuk saat ini. Ada banyak prioritas dalam hidup aku yang masih harus 'diurus' dan soal belahan jiwa biarkan dia yang mencari kalau memang dia ingin mencari. Aku sudah kelelahan mencari dan menunggu. He he he heeee.
Iya, aku sedang berjuang ....
untuk menyelesaikan sesuatu yang harusnya aku selesaikan dari dahulu kala dan itu yang pasti itu bukan perkara cinta, belahan jiwa, belahan hati, pernikahan, dan tetek bengek yang aroma dan rasanya seputar itu.
Terima kasih atas suratnya yah, Vie.
Maaf baru sempat balas.
Selamat berjuang mengerjakan thesis Eva :)
Deleteya, cinta. suatu bahasa universal yang butuh perjuangan...
ReplyDeleteSepakat :)
Delete